PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN ETNOSENTRISME
Prasangka dan
Diskriminasi
Prasangka atau prejudice berasal dari kata latian
prejudicium, yang pengertiannya sekarang mengalami perkembangan sebagia berikut
:
a. semula diartikan sebagai suatu presenden,
artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang lalu
b. dalam bahas Inggris mengandung arti
pengambilan keputusan tanpa penelitian dan pertimbangan yagn cermat,
tergesa-gesa atau tidak matang
c. untuk mengatakan prasangka dipersyaratkan
pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau tidak suka) dalam keputusan yang
telah diambil tersebut
Dalam konteks rasial, prasangka diartikan:”suatu
sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari anggota seluruh kelompok etnis.
Prasangka (prejudice) diaratikan suatu anggapan
terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu
buruk dengan tanpa kritik
terlebih dahulu baik
terhadap sesuatu.
Jadi prasangka merupakan kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai
tindak lanjutnya timbul tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian
diskriminatif merupakan tindakan yang relaistis, sedangkan prsangka tidak
realistis dan hanya diketahui oleh diri individu masing-masing..
Sebab-sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi :
1.
berlatar belakang sejarah
2. dilatar-belakangi oleh perkembangan sosio-kultural dan
situasional
3.
bersumber dari factor kepribadian
4.
berlatang belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan
agama
Usaha-usaha mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminai
1.
Perbaikan kondisi sosial ekonomi
2.
Perluasan kesempatan belajar
3.
Sikap terbuka dan sikap lapang
Etnosentrisme yaitu suatu
kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri
sebagaai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakan menilai kelompok lain dengan tolok ukur
kebudayaannya sendiri.
SIKAP DAN PRASANGKA
Karena prasangka itu suatu sikap, yaitu sikap sosial, maka terlebih dahulu
sikap perlu dirumuskan.
sikap mempunyai komponen-komponen, yaitu :
a. kognitif : artinya memiliki pengetahuan
mengenai objek sikapnya terlepas pengetahuan itu benar atau salah
b. Afektif: artinya dalam bersikap akan
selalu mempunyai evaluasi emosinal (setuju-tidak setuju) mengenai objeknya
c. Konatif: artinya kecenderungan bertingkah
laku bila bertemu dengan objek sikapnya, mulai dari bentuk yang positif
(tindakan sosialisasi) samapai pada yang aktif (tindakan menyerang)
Pertentangan-pertentangan sosial / ketegangan
dalam masyarakat
Konflik (pertentangan) mengandung suatu pengertian tingkah laku yang lebih
luas dari pada yang biasa. Dasar konflik berbeda-beda. Terdapat 3
elemen dasar yang merupakan cirri-ciri dari situasi konflik yaitu :
1. Terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau
baigan-bagianyang terlibat di dalam konflik
2. Unti-unit tersebut mempunyai
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap,
maupun gagasan-gagasan
3. Terdapatnya interaksi di antara
bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Adapun cara-cara pemecahan konflik tersebut adalah :
1. elimination; yaitu pengunduran diri
salah satu pihak yang telibat dalam
konflik
2. Subjugation atau domination, artinya orang
atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain
untuk mentaatinya
3. Mjority Rule artinya suara terbanyak yang
ditentukan dengan voting akan menentukan keputusan.
4. Minority Consent; artinya kelompok
mayoritas yang memenangkan.
5. Compromise; artinya kedua atau semua sub
kelompok yang telibat dalam konflik berusaha mencari jalan tengah
6. Integration; artinya pendapat-pendapat
yang dipertimbangkan dan ditelaah mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi
semua pihak
PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
TERHADAP ETNIS TIONGHOA
Pertama, katagori ‘asing’
yang melekat pada penggolongan warga etnis Tionghoa — bersama-sama warga etnis
Arab dan India –sebagai golongan Timur Asing. Katagori ini menempatkan warga
etnis Tionghoa sebagai orang yang berasal dari luar atau pendatang yang berbeda
dengan penduduk asli (yang oleh Belanda dikatagorikan sebagai Inlanders). Itu
sebabnya mengapa sampai hari ini kita masih menghadapi persoalan asli versus
pendatang, walaupun sebagian dari kita sudah berbicara tentang kewarganegaraan,
tentang hak-hak yang sama dari setiap warganegara. Contoh yang paling jelas
yang menggambarkan hal ini adalah penggunaan kata huaqiao atau Huakiao, yang
artinya Orang Cina (di) Perantauan atau dalam bahasa Inggris Overseas Chinese,
untuk mengacu kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, walaupun yang
bersangkutan sudah menjadi warganegara Indonesia. Sesungguhnya ada istilah lain
yang diperkenalkan oleh Lie Tek Tjeng di tahun 1970an, yaitu istilah Huaren
yang diartikan sebagai Keturunan Cina atau Chinese descent. Pengertian ini pun
sekarang menjadi problematik karena bukankah warga Indonesia lainnya juga
merupakan keturunan, keturunan Batak, keturunan Sunda, keturunan Ambon, dan
sebagainya. Sekarang ada yang mulai memperkenalkan istilah warganegara
Indonesia-Tionghoa yang dianggap cukup netral dan bisa diterima, paling tidak
oleh warga etnis Tionghoa yang terpelajar, akan tetapi penggunaan istilah ini
masih belum meluas kepada berbagai kalangan, termasuk media massa.
Sementara itu, tindakan
diskriminatif oleh orang per orang ataupun kelompok tertentu dilakukan melalui
berbagai cara, dari yang terbuka sampai yang sangat halus dan tidak kentara.
Sulit untuk melacak hal ini karena, tidak seperti diskriminasi yang dilakukan
pemerintah, tindakan diskriminatif perorangan atau kelompok tidak selalu
didukung oleh peraturan tertulis. Tapi kalau kita dengar tentang adanya
pengkuotaan perekrutan mahasiswa etnis Tionghoa di universitas negeri atau
tentang lebih besarnya biaya lingkungan yang dibayar warga etnis Tionghoa
dibanding warga Indonesia lainnya, jelas tindakan diskriminatif memang
dipraktekkan di berbagai bidang kehidupan. Tetapi dimulai oleh siapa dan
bagaimana caranya sampai hal itu terinstitutionalisasikan, tidak ada yang bisa
menjawab secara pasti. Akan tetapi,
persoalan kita di sini, bukan siapa yang mendiskriminasi, melainkan kenyataan
adanya tindakan diskriminatif yang dikenakan kepada kelompok etnis tertentu dan
apa yang bisa dilakukan untuk mengubahnya. Hal inilah yang harus perlu kita
perubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar